mine?

Aku perlahan membuka pintu kaca. Tidak lupa untuk memberi senyum pada petugas keamanan. Akhirnya, aku memijakkan kakiku di karpet ini lagi. Karpet bermotif bunga bunga dengan aksen coklat di belakangnya.
“Kenapa aku kembali ke sini lagi?..” aku tersenyum lesu.

Terlihat di depanku antrian memanjang yang berpusat pada meja meja panjang dan lebar. Layar layar yang tertempel pada dinding berulang kali menampilkan beberapa tontonan yang dapat dipilih. Kursi kursi dengan bantalan sofa yang berada di kerumunan orang yang sekedar ingin mengistirahatkan kaki.

“Baunya,suasananya tidak berubah. Sepertinya, hanya hubungan kami yang berubah”,ujarku sambil menatap nanar pemandangan yang tersedia di depanku.

Langkah kaki terdengar dari berbagai arah. Sepertinya karpet ini tidak bisa meredamnya. Suara jagung yang baru matang, meletup letup menarik perhatianku. Aku berjalan lagi, berusaha memfamiliarkan diriku dengan situasi ini. Obrolan obrolan santai terdengar jelas, apa yang akan mereka tonton, jam berapa, ataupun tentang bagaimana cara perempuan di depannya itu berdandan. Suara khas dari dalam studio bersahut sahutan memanggil para penontonnya.
Bau berondong jagung yang baru matang seakan menarikku lagi untuk tersadar dari lamunanku. Kulangkahkan kaki, saat ada bau maskulin yang menerpaku. Lalu bau feminin yang menyeruak bebas.

“Uh, pusing,” ucapku sambil mencoba menghirup udara sedalam dalamnya.

Bau segar dari pendingin ruangan terkontaminasi oleh bau makanan. Sedikit menyegarkan tapi sekaligus menyesakkan. Buru buru aku menuju ke harum yang menarikku tadi, lalu membelinya.

“Mas, popcorn asin medium nya satu ya.”
“Oke, popcorn asin medium nya 1 ya. Ada tambahan minum?”
“Boleh deh, sama itu aja. Iced Milo satu.”
“Oke mbak. Satu iced milo sama popocorn asin yang medium ya. Totalnya Rp 50.000,00”
“Oke,makasih mas”, jawabku sambil menyodorkan uang dan menerima pesananku.

Kumasukkan sebutir demi sebutir berondong jagung ke dalam mulutku. Renyah bercampur asin serasa bergejolak di dalam mulutku. Menguak rasa yang dulu sering bertengger di mulutku setiap hari Sabtu malam. Sembari menunggu film dimulai, kuteguk susu coklat yang kubeli di meja depan. Manisnya cairan semakin membawa ku ke dalam lamunan panjang tentang masa lalu.

“Duk!”,kepalaku terhantam sesuatu yang bidang dan keras.
“Aw!” teriakku.

Meringis aku dibuatnya. Belum selesai aku meredam rasa pening di kepalaku, aku terkaget melihat pemandangan di depanku.
“Eh?!”,seruku kaget.

Sosok tinggi dan familiar berdiri di depanku. Tanganku buru buru kuturunkan. Dahiku terasa benjol, dan sekarang kulitnya terasa makin menguat di atas rabaan tangannya. Aku tersentak, kaget. Kulihat wajah khawatirnya. Aku merasakan telapak tangannya di dahiku. Kasar dan sedikit berotot. Buru buru aku menepis tangannya. Tapi dengan sigap ia menangkap tanganku, hanya untuk bersalaman dengannya. Hangat. Lembut. Persis seperti 3 tahun lalu. Tangan yang membuatku terasa nyaman hanya dengan memegangnya.

Aku terpaku bisu, buat apa dia disini? Tanpa saling mengucapkan satu kata pun, aku melangkah menjauhinya.

“Apa apaan tadi? Kenapa dia ada disini???? Kenapa kita bertemu lagi?”

Aku sudah memberanikan diriku datang ke tempat ini. Tapi mengapa harus dipertemukan dengan orangnya langsung? Untung tiket sudah ditangan, hasil memesan online.

“Untung saja aku masih sadar. Untung saja aku tidak mengajaknya mengobrol”, kataku berkali kali sambil mencoba mengatur deru nafasku.

Aku merutuki diriku sendiri, dan membiarkan diriku larut dalam kerumunan orang yang mengantri masuk ke dalam studio.

Yogyakarta, 19 Januari 2017
8.32 PM
- A. S

Komentar